Rahasia Perintah Mendirikan Sholat
قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يُقِيْمُوا الصَّلَا ةَ وَيُنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خِلَالٌ
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan sholat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau pun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. (QS. Ibrahim [14]: 31)
Pada ayat ini Allah
SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik, yang dapat membahagiakan manusia dalam kehidupan
duniawi dan ukhrawi. Perbuatan-perbuatan itu ialah :
1.
Melaksanakan sholat.
2.
Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah
SWT.
Allah SWT memerintahkan
kepada kaum Muslimin mendirikan sholat, karena sholat itu tiang agama,
sebagaimana sabda Nabi SAW.
اَلصَّلاَ ةُ عِمَادُ
الدِّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ
هَدَمَ الدِّيْنَ (رواه البيهقي عن عمر بن الخطاب)
Shalat itu adalah
tiang agama, barang siapa yang mendirikannya, maka sesungguhnya ia telah
mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya, maka sesungguhnya ia
telah meruntuhkan agama. (HR. Al-Baihaqi dari Umar bin
al-Khattāb)
Seseorang yang
taat dan selalu melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran Al-Qur'an adalah orang
yang suci jasmani dan rohaninya, karena sholat itu mencegah orang yang
mengerjakannya melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang terlarang,
sebagaimana firman Allah SWT.
وَاَقِمِ
الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ
ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
... dan
laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar
(keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(al-‘Ankabut [29]: 45)
Dan firman Allah
SWT,
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ
تَزَكّٰىۙ ١٤ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ ١٥
Sungguh beruntung
orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu
dia sholat. (al-A‘la [87]: 14-15)
Perbuatan hamba
yang pertama kali dihisab Allah SWT di hari kiamat ialah sholat. Jika baik sholat
seorang hamba, maka baiklah perbuatannya, sebaliknya jika buruk sholatnya atau
tidak mengerjakannya, maka buruk dan rusak pulalah seluruh pahala amalnya yang
lain.
Rasulullah SAW bersabda:
أَوَّلُ مَا
يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَ ةُ فَإِنْ صَلُحَتْ
صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ. (رواه الطبراني
عن أنس بن مالك)
Perbuatan hamba
yang pertama kali dihisab Allah pada hari kiamat ialah sholat. Maka jika baik
amalan sholat itu, baik pulalah seluruh amalnya, dan jika rusak amalan sholat
itu, rusak pulalah seluruh amalnya. (HR. ath-Thabrāni dari Anas bin Malik)
Bahkan Allah SWT menegaskan,
bahwa orang yang selalu mengerjakan sholat itu adalah orang yang menjadi
pewaris surga Firdaus di akhirat, sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ هُمْ
عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ
٩ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ
ۙ ١٠
الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ١١
Serta orang yang
memelihara sholatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan
mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (al-Mu'minun [23]: 9-11)
Melaksanakan sholat
berarti mengerjakan sholat terus-menerus, sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan agama, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, disertai
dengan khusyu’ dan ikhlas.
Allah SWT juga
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menginfakkan sebagian harta
yang telah dikaruniakan Allah SWT kepada mereka, sebelum datang hari kiamat,
yaitu hari ketika semua pintu tobat telah ditutup, tidak satu dosa pun yang
dapat ditebus, walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi. Tidak ada lagi
seorang teman karib yang dapat menolong dan tidak seorang pun yang dapat
menyelamatkan dan memberikan bantuan termasuk anak-anak dan cucu-cucu. Allah
SWT berfirman:
فَالْيَوْمَ لَا
يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ
Maka pada hari
ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. (al-Hadid [57]: 15)
Dan firman Allah
SWT:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ
يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَّلَا شَفَاعَةٌ ۗوَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Wahai orang-orang
yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi
persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang
zalim. (al-Baqarah [2]: 254)
Orang-orang yang
terlepas dari azab hari kiamat itu hanyalah orang-orang yang selama hidup di
dunia mengerjakan amal-amal sholeh, senang bersedekah, sehingga hatinya suci
dan bersih serta ridlo terhadap apa yang diberikan Allah SWT kepadanya nanti. Allah
SWT berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ
مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ ٨٨ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
ۗ ٨٩
(Yaitu) pada hari
(ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih. (asy-Syu’araa’ [26]: 88-89)
Senang
menginfakkan harta merupakan pencerminan dari kepribadian muslim yang
sesungguhnya, sebagai seorang yang telah menyerahkan diri, harta, dan
kehidupannya kepada agama, semata-mata untuk mencari keridaan Allah SWT.
Perbuatan itu juga merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Terhadap orang
yang mensyukuri nikmat, Allah SWT akan menambah nikmat lebih banyak dari
nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya.
Sebaliknya sifat
tidak senang menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah SWT adalah
pencerminan pribadi orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT dan rasul-Nya
serta pencerminan dari rasa ingkar terhadap nikmat Allah SWT. Mereka merasa
bahwa segala yang mereka peroleh itu semata-mata karena hasil jerih payahnya
sendiri. Dengan sikap yang demikian berarti mereka telah zholim terhadap
dirinya sendiri. Akibat zholim terhadap dirinya sendiri, maka ia tidak lagi
mendapat tambahan nikmat dari Allah SWT, bahkan ia akan ditimpa azab yang pedih
di dunia dan di akhirat. Zholim terhadap orang lain ialah ia tidak mau
memberikan atau mengeluarkan hak orang lain yang ada dalam hartanya. Zholim
kepada masyarakat yang ada di sekitarnya ialah mengganggu kepentingan dan
hubungan baik yang telah dijalin dalam masyarakat.
Bahkan dari ayat
ini dipahami bahwa orang yang kikir dan tidak mau membelanjakan sebagian
hartanya itu adalah orang yang congkak dan sombong. Karena merasa dirinya telah
mampu mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapinya, termasuk kesulitan dan
malapetaka yang akan menimpanya di hari kiamat nanti. Mereka merasa tidak lagi
memerlukan tambahan nikmat dan pertolongan Allah SWT baik di dunia maupun di
akhirat.
Menginfakkan
harta dalam agama Islam ada beberapa bentuk:
1.
Membelanjakan harta untuk nafkah diri sendiri, anak-anak,
kerabat, dan istri;
2.
Menginfakkan harta untuk menunaikan kewajiban, seperti
zakat harta dan zakat fitrah;
3.
Menginfakkan harta untuk infak sunah.
Membelanjakan
harta untuk nafkah istri, kerabat, dan untuk menunaikan nafkah wajib, merupakan
suatu kewajiban yang ditetapkan agama atas orang-orang yang beriman, dan
ketentuan-ketentuannya tersebut di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis
Nabi SAW. Sedang infak sunnah yang diberikan untuk kepentingan umum dan untuk
meninggikan kalimat Allah SWT dikategorikan sebagai amal jariah, yaitu infak
atau amal yang tidak akan putus pahalanya, walaupun orang yang memberi infak
itu telah meninggal dunia, selama infak itu memberikan manfaat.
Pemberian infak
wajib, infak sunah, dan nafkah itu haruslah diiringi dengan niat yang ikhlas,
semata-mata dilakukan untuk mencari keridloan Allah SWT, terjauh dari sifat
ria, ingin dipuji dan disanjung oleh sesama manusia. Karena itu Allah SWT menyerahkan
kepada manusia bagaimana cara sebaiknya memberi harta itu kepada orang yang
berhak menerimanya, sehingga membuahkan pahala dari sisi Allah SWT. Jika ia
khawatir akan timbul rasa ria dalam hatinya, maka ia boleh memberikan harta itu
secara sembunyi, tidak diketahui orang. Bila ingin perbuatannya ditiru orang
lain, maka ia boleh pula memberikan hartanya itu dengan terang-terangan.
Hendaklah kaum
Muslimin ingat bahwa harta itu pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
Dianugerahkan-Nya harta kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugasnya
sebagai hamba Allah SWT selama mereka hidup di dunia. Oleh karena itu, jika
seseorang telah memperoleh harta dan telah melebihi keperluannya, hendaklah
diinfakkan kepada yang berhak menerimanya.
Komentar
Posting Komentar